TUGAS
TERSTRUKTUR
SOSIOLOGI
PERTANIAN
PROSES – PROSES
SOSIAL MASYARAKAT PERTANIAN
Disusun Oleh:
Nama : Ahmad Arif Darmawan
NIM : A1L013064
Dosen : Ir. Sri Widarni, M.Si
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
PURWOKERTO
2014
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia merupakan negara agraris,
sehingga tidak jarang konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik dalam
hal memperebutkan tanah sebagai salah satu lahan produksi yang menunjang
kehidupan manusia dan merupakan salah satu faktor penentu kesejahteraan
masyarakat di dalam suatu negara.
Konflik agraris ini bukan hanya
terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, tetapi juga
bisa terjadi antara kelompok dengan kelompok karena sama-sama merasa tanah
tersebut menjadi hak kepemilikan mereka.
Masalah-masalah yang serius
dihadapi dalam sektor pertanian semakin menumpuk di antaranya pemilikan lahan
yang semakin mengecil, akses terhadap input pertanian yang semakin mahal, biaya
transaksi yang terus melambung, dan kelembagaan ekonomi yang tidak pernah
berpihak kepada petani. Akibatnya posisi tawar masyarakat desa sangat lemah
terutama waktu menjual hasil produksi usaha taninya. Mereka selalu berada dalam
posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka semakin miskin dan tidak berdaya.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia memang berfluktuasi dari
tahun ke tahun. Namun pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Indonesia
sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Di bandingkan dengan penduduk miskin pada
tahun 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk
miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Pertambahan penduduk miskin di daerah
pedesaan sedikit lebih tinggi dari pada daerah perkotaan. Oleh karena itu makalah ini dibuat untuk membahas
berbagai permasalahan yang terjadi di kalangan petani maupun kelompok tani.
B.
Tujuan
1.
Dapat mengetahui definisi interaksi sosial.
2.
Dapat mengetahui tentang interaksi sosial disosiatif.
3.
Dapat mengetahui kasus pada proses sosial di masyarakat pedesaan.
PERMASALAHAN
Sumatera Utara dari luas 647.223 ha
lahan pertanian yang tersedia untuk dikembangkan, sebagian besar lahan, yaitu
sekitar 429.751 ha(66,4%)
diarahkan untuk komoditas
tanaman semusim. Sisanya seluas 2141.972 ha (21,9%) untuk komoditas tanaman
tahunan, dan 75.500 ha (11,7%)
diarahkan untuk padi sawah.
Dewasa ini di Sumatera Utara
banyak pertikaian akibat adanya HGU ( Hak Guna Lahan ). Pada 23 Agustus 2013
terjadi bentrokan antar petani yang memperebutkan lahan garapan eks PTPN II di Dusun Undian, Desa Tandukan Raga, Kecamatan
STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Pada 17 Oktober 2011. Ketujuh kelompok tani
yang tergabung dalam Organisasi Tani Maju Bersama itu diantaranya, Kelompok
Tani Bersaudara, Kelompok Tani Suka Rasmi, Kelompok Tani Tunas Baru, Kelompok
Tani Karang Seroja, Kelompok Tani Lembah Harapan, Serikat Tani Serdang Bedagai
dan Yayasan Bitra Indonesia.Mereka mengumpulkan
ratusan warga garapan untuk bersama-sama berjuang merebut kembali 249 hektar
yang yang telah dirampas dengan kekerasan oleh PTPN III Kebun Gunung Pamela
Tahun 1998 karena di klaim sebagai lahan yang masuk Wilayah Hak Guna Usaha
(HGU-red) PTPN III Gunung Pamela.
Kondisi demikian semakin tak terelakkan di kalangan petani
pedesaan. Di samping timbulnya masyarakat petani miskin juga akan memperlambat
proses perubahan sosial. Dalam konteks ini perubahan dimaksud yakni: pertama, adanya deprivasi
relatif, yaitu persepsi seorang pelaku atas kesenjangan antara nilai
harapan dan nilai kemampuannya. Ini adalah celah antara apa yang orang yakini
sebagai haknya dan apa yang mereka pikir mereka mampu memperoleh dan
mempertahankannya. Deprivasi relatif seringkali menyebabkan frustrasi yang
mengarah kepada agresi, dan frustrasi ini menciptakan potensi kekerasan
kolektif (agresi). Dalam hal ini deprivasi relatif merupakan suatu potensi bagi
kerjasama kolektif.
Kedua, adanya dislokasi, yaitu perasaan
tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Ketiga,
disorientasi, yaitu perasaan seperti tidak punya pegangan atau tujuan hidup
akibat tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Keempat, negativisme,
yaitu perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada
tatanan yang baru berkembang dengan berbagai sikap tidak percaya, curiga,
bermusuhan, melawan, dan sebagainya. Kondisi demikian yang membuat laju
perubahan sosial cenderung berjalan mundur.
Perubahan itu memang menjadi implikasi logis dari proses
industrialisasi ataupun modernisasi terutama menyangkut proses penyempitan
lahan dan masuknya ekonomi uang ke pedesaan yang mempengaruhi pergeseran
struktur sosial yang dapat disejajarkan dengan proses individualisasi dan
komersialisasi. Masyarakat pada hakikatnya merespons perubahan tersebut
walaupun ternyata respons itu tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah
setempat khususnya dalam menghadapi pihak luar sehingga pada akhirnya hak-hak
mereka menjadi terbatas, kehilangan sumber ekonomi, dan pergeseran nilai-nilai
sosial.
PEMBAHASAN
Definisi Proses Sosial
dan Interaksi Sosial
Proses
sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan
kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta
bentu-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada
perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang terlah
ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbale-balik antara
pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara social
dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan sosial.
Interaksi
Sosial adalah hubungan timbal balik antar individu dengan individu, individu
dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat. Interaksi
social merupakan kunci dari semua kehidupan social, karena tanpa interkasi
social tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi Sosial sebagai Faktor
Utama dalam Kehidupan Sosial. Bentuk umum proses social adalah interaksi
social(yang juga dapat dinamakan sebagai proses social). Interaksi ini sifatnya
dinamis.
Ciri-Ciri dan Tujuan Interaksi Sosial
Menurut Charles P. Loomis, sebuah
hubungan itu bisa dikatakan interaksi sosial jika memiliki ciri-ciri hubungan
sebagai berikut :
1. Jumlah pelakunya adalah dua orang atau lebih
2. Adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol
atau lambang-lambang
3. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lalu, masa
kini dan masa yang akan datang
4. Adanya tujuan yang hendak dicapai Sedangkan tujuan yang
hendak dicapai dari interaksi sosial itu adalah sebagai berikut :
a.
Terciptanya
hubungan yang harmonis.
b.
Tercapainya tujuan hubungan
dan kepentingan.
c.
Sebagai sarana
dalam mewujudkan keteraturan hidup (kehidupan sosial (masyarakat).
Definisi Proses
Sosial Disosiatif
Proses
disosiatif merupakan proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh
individu-individu dan kelompok dalam proses sosial di antara mereka pada suatu
masyarakat. oposisi dilakukan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau
kelompok tetentu atau norma dan nilai yang dianggap tidak mendukung perubahan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang di inginkan. Contoh dari proses disosiatif
adalah sebagai berikut:
Konflik
Konflik/pertentangan adalah
suatu proses sosial di mana individu ataupun kelompok menyadari memiliki
perbedaan-perbedaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsur-unsur
kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi maupun kepentingan
dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada
sehingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian itu sendiri dapat
menghasilkan ancaman atau kekerasan fisik.
Faktor-faktor
penybab pertentangan, yaitu:
1. Perbedaan antara individu-individu, perbedaan pendirian dan
perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan antar mereka.
2. Perbedaan kebudayaan, perbedaan kepribadian seseorang
tergantung pada pola-pola kebudayaan, dari keadaan tersebut dapat menyebabkan
terjadinya pertentangan antara kelompok manusia.
3. Perbedaan kepentingan, wujud kepentingan misalnya
kepentingan ekonomi, politik, dan lain sebagainya dapat menyebabkan terjadinya
suatu pertentangan baik antar individu maupun antar kelompok.
4. Perubahan sosial, perubahan sosial yang berlangsung dengan
cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat, dan ini mengakibatkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda
pendiriannya.
Bentuk-bentuk
khusus pertentangan:
1. Pertentangan pribadi, terjadi antara orang peroranganyang
masing-masing memiliki pendirian yang berbeda.
2. Pertentangan rasial, pertentangan antar ras yang diakibatkan
adanya perbedaan ciri fisik maupun perbedaan kepentingan dan kebudayaan.
Misalnya pertentangan orang negro dengan orang kulit putih di AS.
3. Pertentangan antar kelas sosial, pertentangan yang terjadi
antar kelas sosial yang berbeda, misal pertentangan antar buruh dan majikan.
4. Pertentangan politik, biasanya pertentangan ini menyangkut
baik antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat, maupun antara
negara-negara yang berdaulat.
5.
Pertentangan yang
bersifat internasional, ini disebabkan karena perbedaan-perbedaan kepentingan
yang kemudian merembes ke kedaulatan negara.
Akibat-akibat
dari bentuk pertentangan, antara lain:
1. Tambahnya solidaritas in-group
2. Goyah dan retaknya persatuan kelompok
3. Perubahan kepribadian
4.
Akomodasi, dominasi,
dan takluknya satu pihak tetentu
Konflik
dalam Masyarakat Tani
Konflik
merupakan hal yang biasa terjadi di masyarakat sebagai akibat adanya interaksi
sosial antar masyarakat. Penyebab terjadinya konflik antar petani dapat
berupa :
1.
Kurangnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi kesepakatan
yang telah dibuat
2.
Perbedaan pemahaman akan pentingnya kesepakatan yang telah
dibuat
3.
Perbedaan sikap dan kepribadian
4.
Perubahan keadaan yang mendadak.
Salah satu
konflik yang sering muncul pada masyarakat tani adalah konflik
komunikasi. Konflik komunikasi dalam bidang pertanian adalah
terjadinya suatu keadaan, dimana komponen-komponen masyarakat tidak berfungsi
sebagaimana mestinya atau terintegrasi secara tidak sempurna. Untuk itu
penanganan masalah konflik komunikasi dalam bidang pertanian dapat mengacu pada
teori konflik dengan penegasan sebagai kumpulan ide dalam memajukan
gerakan-gerakan sosial atau untuk mempertahankan institusi sosial. Ideologi lebih
merupakan sebuah sistem yang menjadi pedoman praktis.
Tiga bentuk
ideologi pokok teori konflik yang muncul pada abad ke-19 diantaranya adalah
sosialisme Marxis dan dua jenis sosial-Darwinisme. Hal ini merupakan hal yang
sangat penting dalam memahami teori konflik untuk membedakan ideologi dengan
teori sains. Satu hal lagi dalam ideologi pokok teori konflik pada abad ke-19
menjadi ranah yang luar biasa dan masalah-masalah vital karena akhirnya sains
sosial dapat mengatasi kondisi ini.
Seperti halnya yang terjadi di Sumatera Utara banyak pertikaian akibat adanya HGU ( Hak
Guna Lahan ). Pada 23 Agustus 2013 terjadi bentrokan antar petani yang
memperebutkan lahan garapan eks PTPN II di Dusun Undian, Desa Tandukan Raga, Kecamatan
STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Pada 17 Oktober 2011. Ketujuh kelompok tani
yang tergabung dalam Organisasi Tani Maju Bersama itu diantaranya, Kelompok
Tani Bersaudara, Kelompok Tani Suka Rasmi, Kelompok Tani Tunas Baru, Kelompok
Tani Karang Seroja, Kelompok Tani Lembah Harapan, Serikat Tani Serdang Bedagai
dan Yayasan Bitra Indonesia.Mereka mengumpulkan
ratusan warga garapan untuk bersama-sama berjuang merebut kembali 249 hektar
yang yang telah dirampas dengan kekerasan oleh PTPN III Kebun Gunung Pamela
Tahun 1998 karena di klaim sebagai lahan yang masuk Wilayah Hak Guna Usaha
(HGU-red) PTPN III Gunung Pamela.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak
Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan, atau peternakan.
Dalam
rangka pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat menajdi objek Hak Guna
Usaha. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai objek Hak Guna Usaha tersebut
adalah :
a. tanah
yang sudah merupakan perkampungan rakyat,
b. tanah
yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,
c. tanah yang
diperlukan oleh pemerintah.
Dalam
konteks luas tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha, Pasal 5 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa luas minimum tanah
yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima hektar. Sedangkan luas
maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada perorangan adalah dua puluhlima
hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3). Untuk luas tanah
yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan
memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan
dengan mengingat luas tanah yang diperlukan untuk melaksanakan usaha yang
paling berdaya guna di bidang usaha yang bersangkutan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.
Jangka Waktu Hak Guna Usaha
Jangka waktu pemberian Hak Guna
Usaha dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960. Dalam rumusan pasal tersebut disebutkan bahwa:
1.
Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
2.
Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
3.
Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan
perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat
diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.
Berdasarkan rumusan pasal 29
sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan
untuk jangka waktu antara 25 tahun hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa
setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat
diperpanjang untuk masa 25 tahun berikutnya.
Inilah
faktor yang menjadi banyaknya pertikaian atau konflik masyarakat tani di
Sumatera Utara. Banyak faktor yang telah menyebabkan
terjadinya konflik komunikasi dalam bidang pertanian. Misalkan perbedaan
pendirian dan keyakinan setiap petani akan menyebabkan konflik antar individu.
Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan
masing-masing pihakpun berusaha membinasakan lawannya. Konflik tidak selalu
diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk
pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak
disetujuinya.
Disamping
perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan maupun perbedaan status sosial dapat
menimbulkan konflik, sehingga memiliki kesenjangan yang relatif besar. Hal
tersebut juga dapat memicu konflik apabila tidak dilakukan komunikasi dengan
baik yang tidak hanya menimbulkan konflik antar individu, tetapi juga antar
kelompok tani.
Kesenjangan
tersebut sebagai pemicu terjadinya konflik komunikasi sehingga upaya
penyebarluasan teknologi pertanian mengalami hambatan-hambatan secara sosial,
karena tidak tercapainya kesamaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
Untuk melakukan persamaan persepsi perlu pengembangan wawasan dengan bobot
teori pendukung sebagai upaya saling pengertian dan pemahaman.
Dalam teori
konflik dinyatakan bahwa pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan
pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dalam kelompok
tani yang luas, sehingga apabila terjadi konflik-konflik karena alasan ini,
konflik-konflik itu akan bersifat luas dan karenanya akan bersifat konflik
antar kelompok tani.
Kepentingan yang
berbeda-bedapun memudahkan terjadinya konflik. Mengejar tujuan untuk
kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, maka kelompok tani-kelompok tani
akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.
Kepentingan agen penyuluhan pertanian, para sumber teknologi (peneliti) dan
kepentingan petani kadang-kadang berbeda dalam hal persepsi terhadap sebuah
program.
Perbedaan
pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya sering terjadi pada
situasi-situasi perubahan sosial. Dan, perubahan-perubahan sosial ini secara
tidak langsung dapat dilihat sebagai penyebab juga terjadinya konflik-konflik
sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial yang cepat inilah yang akan
mengakibatkan berubahnya sistem nilai di dalam masyarakat, dan pada akhirnya
akan menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian di dalam masyarakat.
Jadi,
konflik dalam pembangunan pertanian pedesaan sebagai upaya menanggulangi
keterbelakangan dan kemiskinan petani adalah sebuah proses yang sifatnya
disosiatif. Namun, sekalipun sering berlangsung dengan dengan keras dan tajam,
proses-proses konflik sering pula mempunyai akibat-akibat yang positif bagi
masyarakat. Positif tidaknya konflik tergantung dari persoalan yang
dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang
berlangsungnya konflik.
Akibat
positif dari konflik adalah bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group
suatu kelompok tani. Apabila terjadi pertentangan antar kelompok tani,
solidaritas anggota-anggota di dalam masing-masing kelompok tani, yang pada
situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya
konflik dengan pihak luar. Akibat negatif dari terjadinya konflik yaitu
terjadinya peperangan yang akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan
harta.
Konflik antar kelompok tani juga akan memudahkan terjadinya perubahan dan perubahan kepribadian individu. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok tani yang berlainan, maka individu-individu akan mudah mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompok taninya.
Konflik antar kelompok tani juga akan memudahkan terjadinya perubahan dan perubahan kepribadian individu. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok tani yang berlainan, maka individu-individu akan mudah mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompok taninya.
Konflik
akan berakhir dengan berbagai kemungkinan. Apabila kekuatan masing-masing pihak
yang berkonflik adalah berimbang maka kemungkinan besar akan terjadi usaha
akomodasi oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, apabila kekuatan yang tengah
berkonflik tidak berimbang maka akan terjadi penguasaan (dominasi) oleh salah
satu pihak yang kuat terhadap lawannya.
Disamping
itu, konflik dapat juga dianggap sebagai salah satu fenomena perilaku yang
menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat. Yang dimaksud dengan prilaku
menyimpang ini adalah prilaku dari masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan
kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana, orang
dapat dikatakan menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat
bahwa prilaku atau tindakannya diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan,
nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Pemahaman mengenai bagaimana seseorang atau sekelompok tani orang dapat berprilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis. Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok tani orang berprilaku menyimpang, yaitu perspektif individualistik dan teori-teori sosial. Kedua perspektif ini dalam penerapannya kadang kala tidak dapat dibedakan dengan tegas karena keduanya memiliki penjelasan yang komprehensif dan saling tumpang tindih. Tetapi, sangat baik jika menggunakan kedua perspektif ini untuk menjelaskan fenomena tentang terjadinya penyimpangan. Salah satu teori yang berperspektif sosiologi adalah teori konflik.
Pemahaman mengenai bagaimana seseorang atau sekelompok tani orang dapat berprilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis. Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok tani orang berprilaku menyimpang, yaitu perspektif individualistik dan teori-teori sosial. Kedua perspektif ini dalam penerapannya kadang kala tidak dapat dibedakan dengan tegas karena keduanya memiliki penjelasan yang komprehensif dan saling tumpang tindih. Tetapi, sangat baik jika menggunakan kedua perspektif ini untuk menjelaskan fenomena tentang terjadinya penyimpangan. Salah satu teori yang berperspektif sosiologi adalah teori konflik.
Teori konflik lebih
menitikberatkan analisisnya pada asal usul terciptanya suatu aliran atau tertib
social. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usul terjadinya
pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berprilaku menyimpang.
Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralitik dari masyarakat dan
ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok
taninya. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok tani-kelompok tani elite,
maka kelompok tani-kelompok tani itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan
peraturan, khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka.
Dalam hubungannya dengan hal ini, maka perspektif konflik memahami masyarakat
sebagai kelompok tani-kelompok tani dengan berbagai kepentingan yang bersaing
dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok
tani-kelompok tani dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan
aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung
dalam suatu jangka waktu yang sedemikian rupa hingga menunjukkan pola-pola
pengulangan hubungan perilaku dalam kehidupan masyarakat. Interaksi sosial merupakan
kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tidak akan
mungkin ada kehidupan bersama. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi
sosial(yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interasi sosial
merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Proses Sosial perlu digunakan untuk
menjaga komunikasi antar masyarakat tani, kelompok tani maupun kelompok tani
dengan pemerintah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda